Friday, April 2, 2010

Cybercrime dan Penanggulangannya

Dalam era komunikasi dan teknologi saat ini sangat berpengaruh dalam pergerakan informasi, dimana keamanan dan kelancarannya sangat diandalkan. Meskipun sangat praktis dan aman, namun saat ini banyak user yang ingin mendapatkan informasi dengan lebih mudah dan cepat, dalam hal ini berbagai macam cara dapat digunakan, seperti kejahatan di dunia cyber ini, banyak instansi yang menggunakan programer-programer handal agar program yang dihasilkan tidak dapat dirusak dan dimasuki oleh user yang tidak memiliki haknya.

I. Kebijakan Kriminalisasi Cybercrime

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana).  Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.

Pertanyaan tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan.  Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori cybercrime sebagai tindak pidana sebagaimana diulas dalam buku tersebut di atas, ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu:

   1. Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut.  Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya.  Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa perbuatan.  Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian.  Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.
   2. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen.  Akan tetapi proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan munculnya bermacam-macam undang-undang khusus.
   3. Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global) – lihat hal. 43-44.  Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang akan terkena dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime.  Kementerian Komunikasi dan Informasi RI mencatat ada 21 undang-undang dan 25 RUU yang akan terkena dampak dari undang-undang yang mengatur cybercrime. Ini merupakan pekerjaan besar di tengah kondisi bangsa yang belum stabil secara politik maupun ekonomi. Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian perumusan pasal-pasal cybercrime dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan Draft Convention on Cyber Crime dan pengaturan cybercrime dari negara lain.  Harmonisasi ini telah dilaksanakan baik dalam RUU PTI, RUU IETE, RUU ITE, RUU TPTI maupun dalam RUU KUHP.  Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard mengemukakan dalam persoalan cybercrime ini diperlukan standardisasi dan harmoonisiasi dalam tiga area, yaitu legislation, criminal enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diunda
ngkannya undang-undang yang mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya.
   4. Berkaitan dengan harmonisasi substansi, ada yang bagian yang tak disinggung dalam buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana.  Mengingat cybercrime merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan teknologi komputer, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya.  Jenis sanksi pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang sipelaku untuk menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu.  Bagi pengguna komputer yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak menggunakan komputer merupakan derita yang berat.  Jangan sampai terulang kembali kasus Imam Samudera – terpidana kasus terorisme Bom Bali I – yang dengan leluasa menggunakan laptop di dalam selnya.
   5. Setelah harmonisasi dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara.  Cybercrime dapat dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama dengan negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan yurisdiksi kriminal mana yang hendak dipakai.  Pengalaman menunjukkan karena ketiadaan perjanjian ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa pelaku kejahatan kembali ke tanah air untuk diadili.
   6. Hal lain yang luput dari perhatian adalah pertanggungjawaban Internet Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung Internet (Warnet) yang menyediakan akses internet.  Posisi keduanya dalam cybercrime cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju jaringan informasi global, apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak  untuk mengurangi kesenjangan digital di Indonesia.  Bentuk pertanggungjawaban pidana apa yang mesti mereka terima jika terbukti terlibat dalam cybercrime.  Apakah pertanggungjawabannya dibebankan secara individual atau dianggap sebagai suatu korporasi.  Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri.


II. Penanganan Cybercrime di Indonesia

Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak.  Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban.  Ada beberapa sebab mengapa penanganan kasus cybercrime di Indonesia tidak memuaskan:

   1. Cybercrime merupakan kejahatan dengan dimensi high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cybercrime.  Dengan kata lain kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah.
   2. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
   3. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar.  Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
   4. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan.  Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
   5. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah.  Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.

Upaya penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi.  Keberadaan undang-undang yang mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan hukum tersebut.


sumber :
http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kriminalisasi_cybercrime.htm

No comments:

Post a Comment